Home » » Silence of the Night

Silence of the Night


Posted by Picasa Di malam yang dingin itu, tepat di tengah- tengah taman kota terlihat lima sosok patung yang berdiri dengan gagahnya, cahaya rembulan pada malam itu seakan memberikan mereka kekuatan untuk bergerah, kelima patung itu mulai bergerak dengan lincahnya, lima patung yang terdiri dari tiga patung laki-laki dan dua patung perempuan.
“ Dulu kota ini sangatlah sunyi, hanya beberapa lampu yang bersinar, sekarang puluhan bahkan ratusan lampu bersinar setiap malam, malam hari serasa siang,” ujar Wibagso salah satu patung  laki-laki yang mengawali pembicaraan,
“Tapi lihatlah disana. Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan yang sedang tidur tumpang tindih, makan bangkai ajing, dan lihatlah juga deretan gubuk reot yang sangat merusak pemandangan kota ini, menyebarkan bau tak sedap karna tak pernah mandi, tubuh mereka seperti sarang lalat-lalat yang menjijikkan” desis patung lelaki bernama Durmo
Salah satu patung wanita yang bernama Ratri menyahut “itu sudah biasa rekan Durmo, kemiskinan di suatu Negara yang kaya sudah menjadi hal yang biasa, lihatlah disana banyak berjejer rumah-rumah yang sangat mewah, ada pula orang-orang yang sedang menari dengan gembiranya”
“Aq menyesal dulu ikut memerdekakan negeri ini, sekarang orang-orangnya hanya mementinkan nafsu mereka saja tanpa memperdulikan orang lain” ujar salah satu patung yang bernama Sidik
“Aku pun jadi tidak pede lagi sebagai pahlawan. Kita berdiri disini tak lebih seperti orang-orangan sawah, mereka sudah tak menghomati kita lagi” timpal Durmo
“ Kamu jangan sentimental seperti itu, mereka masih menghormati kita, buktinya kita di buatkan monument yang megah seperti ini” tukas Wibagso
“Tapi kenapa monument ini sangat sempit dan juga di tempatka di tempat kumuh seperti ini” sahut patung perempuan yang bernama Cempluk
Tak terasa pagi mulai datang, patung-patung itu kembali ke tempat semula, mereka masih bergumam tetapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya. Terlihat para gelandangan mulai bangun dari tidur mereka, segera mereka melakukan rutinitas setiap hari, salah seorang pelacur mendatangi patung-patung tersebut dan meletakkan sesaji
“Aku mendengar ada yang menyembah-nyembah kita dan memberikan sesaji berupa rokok dan jajanan pasar kepada kita” mata Wibagso terus melihat ritual yang dilakukan oleh pelacur itu,
“Kurang ajar! Kita dikira demit, ini apa-apaan Wabagso” teriak Durmo,
“Malah ada yang minta aneh-aneh, masak kita di suruh ngurusin supaya mereka tak kena gusuran” ujar Sidik,
dari kejauhan terdengar suara berita dari salah satu radio seorang gelandangan “Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar” mendengar berita tersebut Wabagso dan Ratri menari kegirangan sedangkan Sidik, Durmo dan Cempluk hanya terdiam mematung meskipun sudah lama mereka jadi patung.
“Mengapa kalian hanya diam mendengar berita yang membahagiakan ini” ujar Wabagso,
“untuk apa?” jawab Durmo,
“tugas kita sudah selesai kawan kita tinggal melihat anak cucu kita hidup bahagia” tukas Wabagso
“tapi jutaan orang disana masih menjerit-jerit karna kerasnya dunia ini” sahut Durmo lagi
“untuk apa memikirkan itu, Bung Sidik. Semua ada jalannya sendiri-sendiri, hidup ini penuh perjuangan, ada pemenang pasti juga ada pecundang” timpal Ratri
Percakapan mereka dihentikan suara radio milik salah seorang gelandangan yang menyiarkan berita: “Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera.” Seketika itu para gelandangan dan pelacur bersorak karna mereka tak jadi d usir dari monument itu
Malam kembali datang, kesibukan kota mulai lengan, di salah satu ruangan di gedung kotapraja lampunya masih menyala, di dalam masih terjadi diskusi antara Den bei dan Drs Ginsir.
“Bagaimana pak tawaran saya 30:70” tukas Den Bei
“Tunggu dulu Den, saya masih harus mendiskusikan ini kepada dewan” jawab Drs Ginsir,
“Bagaimana kalau 40:60, ini peningkatan yang cukup menjanjikan” tukas Den Bei lagi
“Ok. . . . ok. . . . saya rasa Den Bei bias membuat mall tidak hanya satu” jawab Drs Gisir
“Terima kasih”
“Sulaplah kota ini menjadi kota metropolitan”
keduanya berjabat tangan
“Dasar para penghianat, mereka sedang melakukan transaksi licik, mereka akan meluluhlantahkan bangunan yang mereka anggap menggagu” teriak Wibagso
“Aku sungguh semakin menyesal kenapa dulu berjuang untuk kemerdekaan negri ini” tukas Sidik
Tak lama kemudian datang buldoser-buldoser yang siap menghancukan mereka, para gelandangan tak tinggal diam, mereka berjuang agar monument itu tak jadi dihancurkan. Tapi apa daya kekuatan boldoser-buldoser itu lebih hebat tak sebanding dengan semangat para gelandangan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.
"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.



blog terkait : http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2002/09/percakapan-patung-patung.html

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Your Link | http://nynyo.blogspot.com | Your Link
Copyright © 2013. Fian_grafity - All Rights Reserved