Di
malam yang dingin itu, tepat di tengah- tengah taman kota terlihat lima sosok
patung yang berdiri dengan gagahnya, cahaya rembulan pada malam itu seakan
memberikan mereka kekuatan untuk bergerah, kelima patung itu mulai bergerak
dengan lincahnya, lima patung yang terdiri dari tiga patung laki-laki dan dua
patung perempuan.
“ Dulu kota ini sangatlah sunyi, hanya
beberapa lampu yang bersinar, sekarang puluhan bahkan ratusan lampu bersinar
setiap malam, malam hari serasa siang,” ujar Wibagso salah satu patung laki-laki yang mengawali pembicaraan,
“Tapi lihatlah disana. Bung Wibagso.
Kumpulan gelandangan yang sedang tidur tumpang tindih, makan bangkai ajing, dan
lihatlah juga deretan gubuk reot yang sangat merusak pemandangan kota ini,
menyebarkan bau tak sedap karna tak pernah mandi, tubuh mereka seperti sarang
lalat-lalat yang menjijikkan” desis patung lelaki bernama Durmo
Salah satu patung wanita yang bernama
Ratri menyahut “itu sudah biasa rekan Durmo, kemiskinan di suatu Negara yang
kaya sudah menjadi hal yang biasa, lihatlah disana banyak berjejer rumah-rumah
yang sangat mewah, ada pula orang-orang yang sedang menari dengan gembiranya”
“Aq menyesal dulu ikut memerdekakan negeri
ini, sekarang orang-orangnya hanya mementinkan nafsu mereka saja tanpa memperdulikan
orang lain” ujar salah satu patung yang bernama Sidik
“Aku pun jadi tidak pede lagi sebagai
pahlawan. Kita berdiri disini tak lebih seperti orang-orangan sawah, mereka
sudah tak menghomati kita lagi” timpal Durmo
“ Kamu jangan sentimental seperti itu, mereka masih menghormati kita, buktinya kita di buatkan monument yang megah seperti ini” tukas Wibagso
“ Kamu jangan sentimental seperti itu, mereka masih menghormati kita, buktinya kita di buatkan monument yang megah seperti ini” tukas Wibagso
“Tapi kenapa monument ini sangat sempit dan
juga di tempatka di tempat kumuh seperti ini” sahut patung perempuan yang
bernama Cempluk
Tak terasa pagi mulai datang,
patung-patung itu kembali ke tempat semula, mereka masih bergumam tetapi hanya
telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya. Terlihat para gelandangan
mulai bangun dari tidur mereka, segera mereka melakukan rutinitas setiap hari,
salah seorang pelacur mendatangi patung-patung tersebut dan meletakkan sesaji
“Aku mendengar ada yang
menyembah-nyembah kita dan memberikan sesaji berupa rokok dan jajanan pasar
kepada kita” mata Wibagso terus melihat ritual yang dilakukan oleh pelacur itu,
“Kurang ajar! Kita dikira demit, ini
apa-apaan Wabagso” teriak Durmo,
“Malah ada yang minta aneh-aneh, masak
kita di suruh ngurusin supaya mereka tak kena gusuran” ujar Sidik,
dari kejauhan terdengar suara berita
dari salah satu radio seorang gelandangan “Monumen
Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru
melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk
ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar”
mendengar berita tersebut Wabagso dan Ratri menari kegirangan sedangkan Sidik,
Durmo dan Cempluk hanya terdiam mematung meskipun sudah lama mereka jadi
patung.
“Mengapa
kalian hanya diam mendengar berita yang membahagiakan ini” ujar Wabagso,
“untuk
apa?” jawab Durmo,
“tugas
kita sudah selesai kawan kita tinggal melihat anak cucu kita hidup bahagia”
tukas Wabagso
“tapi
jutaan orang disana masih menjerit-jerit karna kerasnya dunia ini” sahut Durmo
lagi
“untuk
apa memikirkan itu, Bung Sidik. Semua ada jalannya sendiri-sendiri, hidup ini
penuh perjuangan, ada pemenang pasti juga ada pecundang” timpal Ratri
Percakapan
mereka dihentikan suara radio milik salah seorang gelandangan yang menyiarkan berita:
“Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana
pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan
dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi
pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar
dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera.”
Seketika itu para gelandangan dan pelacur bersorak karna mereka tak jadi d usir
dari monument itu
Malam
kembali datang, kesibukan kota mulai lengan, di salah satu ruangan di gedung
kotapraja lampunya masih menyala, di dalam masih terjadi diskusi antara Den bei
dan Drs Ginsir.
“Bagaimana
pak tawaran saya 30:70” tukas Den Bei
“Tunggu
dulu Den, saya masih harus mendiskusikan ini kepada dewan” jawab Drs Ginsir,
“Bagaimana
kalau 40:60, ini peningkatan yang cukup menjanjikan” tukas Den Bei lagi
“Ok.
. . . ok. . . . saya rasa Den Bei bias membuat mall tidak hanya satu” jawab Drs
Gisir
“Terima
kasih”
“Sulaplah
kota ini menjadi kota metropolitan”
keduanya berjabat tangan
keduanya berjabat tangan
“Dasar
para penghianat, mereka sedang melakukan transaksi licik, mereka akan
meluluhlantahkan bangunan yang mereka anggap menggagu” teriak Wibagso
“Aku
sungguh semakin menyesal kenapa dulu berjuang untuk kemerdekaan negri ini”
tukas Sidik
Tak lama kemudian datang buldoser-buldoser yang siap
menghancukan mereka, para gelandangan tak tinggal diam, mereka berjuang agar
monument itu tak jadi dihancurkan. Tapi apa daya kekuatan boldoser-buldoser itu
lebih hebat tak sebanding dengan semangat para gelandangan. Patung-patung itu
dilabrak dan dihajar hingga lumat.
"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.
blog terkait : http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2002/09/percakapan-patung-patung.html
"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.
blog terkait : http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2002/09/percakapan-patung-patung.html
0 comments:
Post a Comment